Halaman

Senin, 22 Desember 2014

PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS WADIAH


Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syi-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Secara harfiah, Al-wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si pemilik menghendakinya.
Pengertian bahasa adalah “meninggalkan atau meletakkan”, yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipeliara atau dijaga. Sedangkan dalam istilah, yaitu memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.
Pada dasarnya, dalam akad atau perjanjian wadi’ah, posisi yang menerima titipan adalah yad al amanah yang bermakan tangan amanah. Maksudnya adalah bahwa pihak yang menerima titpan tidak harus bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan benda yang dititipkan, dengan syarat kondisi rusak dan hilangnya barang tersebut bukan diakibatkan oleh kecerobohan orang yang menerima titipan.
Wadi’ah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu;
1.      Wadi’ah Yad Al Amanah, yaitu titpan murni dimana barang yang dititpkan tidak boleh digunakan atu diambil manfaatnya oleh si penitip, penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban utntuk menjaga barang tersebut tanpa boleh memanfaatkannya.
2.      Wadi’ah Yad Dhamanah, yaitu titpan yang dapat dimanfaatkan oleh si penerima titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat si pemilik menghendakinya.


Sabtu, 04 Oktober 2014

Manajemen Keuangan Syari’ah


Manajemen Keuangan Syari’ah
            Asal mula kata manajemen berasal dari bahasa Perancis Kuno dari kata manajement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Pengertian secara bebas manajemen berarti sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Manajemen keuangan merupakan manajemen yang mengaitkan pemerolehan (acquitition), pembiayaan/pembelanjaan (financing) dan manajemen aktiva dengan tujuan secara menyeluruh dari suatu perusahaan (manajemen terhadap fungsi keuangan). Semua kegiatan/ aktifitas perusahaan yang bersangkutan dengan usaha mendapatkan dana yang dibutuhkan perusahaan beserta usaha untuk menggunakan dana tersebut seefesien mungkin. 

Manajemen Keuangan Syari’ah adalah sebuah kegiatan manajerial keuangan untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan kesesuaiannya pada prinsip-prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah pada aspek keuangan meliputi; 

1.      Setiap perbuatan akan simintakan pertanggungjawabannya.
2.      Setiap harta yang diperoleh terdapat hak orang lain.
3.      Uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan. 

Berdasarkan prinsipnya maka dalam perencanaa, pengorganisasian, penerapan dan pengawasan yang berhubungan dengan keuangan secara syariah yaitu setiap upaya-upaya dalam memperoleh harta harus memperhatikan cara-cara yang sesuai dengan syariah seperti perniagaan/ jual beli, pertanian, industri, jasa-jasa. Harta yang diperoleh digunakan untuk hal-hal yang tidak dilarang/ mubah seperti barang konsumtif, rekreasi, dsb. Dalam hal ingin menginvestasikan uang juga harus memperhatikan prinsip “uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan”, dapat dilakukan secara langsung atau melalui lembaga intermediasi seperti bank syariah dan reksadana syariah. 

Perkembangan ekonomi syariah bukan hanya disektor yang memang telah banyak dikembangkan seperti perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan non-bank lainnya, tetapi perkembangannya merambah pada sektor keuangan mikro, keuangan sosial dan praktek-praktek usaha rill yang mencoba memenuhi prinsip-prinsip syariah. Disamping itu, sensitifitas berbagai kalangan terhadap praktek syariah membuat aplikasinya oleh pelaku ekonomi termasuk regulatornya, sangat berhati-hati dengan terus mengedepankan subtansi prinsip-prinsip syariah yang telah digariskan. Esensi keuangan syariah yang mensyaratkan keterkaitan erat transaksi keuangan dengan usaha produktif ekonomi (rill) membuat produk-produk keuangan syariah Indonesia relative memilliki bentuk, warna, dan karakteristik yang berbeda-beda dengan Negara lain. 
 
Pada hakekatnya masalah manajemen keuangan menyangkut masalah keseimbangan financial didalam perusahaan yaitu mengadakan keseimbangan antara aktiva dengan pasiva yang dibutuhkan serta mencari susunan kwalitatif daripada aktiva dan pasiva tersebut dengan sebaik-baiknya. Pemilihan susunan kwalitatif daripada aktiva akan menentukan struktur kekayaan perusahaan. Sedangakan pemilihan susunan kwalitatif daripada pasiva akan menentukan struktur financial dan struktur modal perusahaan. Lingkup manajemen keuangan meliputi pembicaraan tentang keputusan-keputusan dalam bidang keuangan, misalnya keputusan investasi, keputusan pembelanjaan dan kebijaksanaan dividen.

Sabtu, 31 Mei 2014

Ayat dan Hadist Mengenai Akad


Secara literal, akad berasal dari bahasa arab yaitu عَقَدَ يَعْقِدُ عَقْدًا yang berarti perjanjian atau persetujuan. Kata akad juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Rumusan akad mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan diantaranya dalam ijab dan kabul, sesuai dengan kehendak syariat, dan adanya akibat hukum pada objek perikatan. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dimksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan hukum tertentu. SebAllah telah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1, yang artinya; 
“Hai orang-orang yang beriman penuhilah aqad-aqad itu… ” (QS Al-Maidah [5]; 1)
Dalam ayat diatas juga ahli tafsir memberikan penjelasan bahwa Aqad (perjanjian) mencakup aqad secara vertikal, yaitu janji prasetia kita manusia sebagai hamba kepada Allah. Dan aqad secara horizontal, yaitu perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan antar sesamanya.
Karena sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah, oleh karena itu akad merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik.
Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa. Sehingga dalam suatu akad yang hendak kita lakukan, maka untuk memenuhi ketentuan sahnya suatu akad tersebut harus memenuhi hukum dan syarat akad yang merupakan unsur asasi dari akad. Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam syariat Islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya.
Begitu pula yang terdapat dalam hadist, bahwa aqad ini memiliki satu tempat yang khusus dalam melengkapi suatu jual beli ataupun kegiatan lainnya yang mengharuskan diadakanya aqad. Salah satu syarat dalam melaksanakan kegiatan aqad, yaitu harus adanya rasa saling ridha antara yang beraqad. Dalam  hadist Rosululloh saw, dari Jabir bin Abdullah Rhodliyallohu ‘anhuma dalam kitab Syurutuhum Bainahum yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori;
 Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah ( Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat” (HR. Bukhari)
Hadist diatas menjelkaskan bahwa akad yang di adakan oleh para pihak harus di dasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridho/rela akan isi akad tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, dengan sendirinya akad yang  diadakan tidak didasarkan kepada mengadakan perjanjian.

Senin, 07 April 2014

Produksi, Konsumsi, dan Distribusi Menurut Al-Qur'an dan Hadist


Produksi, distribusi dan konsumsi adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan di dalam kelangsungan hidup manusia sejak pertama kali lahir di bumi ini. Kegiatan produksi adalah mata rantai dari konsumsi dan distribusi yang sudah dilakukan sejak manusia lahir di bumi. 

Produksi

Didalam teori produksi memberikan penjelasan tentang perilaku konsumen dalam memaksimalkan keuntungan maupun mengoptimalkan efesiensi produknya. Dimana Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk pemilikan alat produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak. Salah satu ayat tentang produksi yaitu ayat yang berkaitan dengan faktor produksi tanah dalam surat As Sajdah ayat 27; 

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?” 

Ayat diatas menjelaskan tentang tanah yang  berfungsi sebagai penyerap air hujan dan akhirnya tumbuh tanaman-tanaman yang terdiri dari beragam jenis. Tanaman itu dapat dimanfaatkan manusia sebagai faktor produksi alam, dari tanaman tersebut juga dikonsumsi oleh hewan ternak  yang pada akhirnya juga hewan ternak tersebut diambil manfaatnya (diproduksi) dengan berbgai bentuk seperti diambil dagingnya, susunya dan lain sebagaiya yang ada pada hewan ternak tersebut.
Siklus rantai makanan yang berkesinambungan yang dijelaskan dalam ayat tersebut tentu harus pula disertai dengan prinsip efesiensi dalam memanfaatkan seluruh batas prosuksinya. Jadi didalam sebuah produksi itu tidak boleh memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang tercela, melakukan kegiatan produksi yang mengarah pada kedzaliman, dan dilarang melakukan ikhtikar (penimbunan barang) karena itu semua bertentangan dengan syari’ah. Sedangkan dalam hadits salah satunya sebagai berikut: 

Seseorang yang mempunyai sebidang tanah harus menggarap tanahnya sendiri, dan jangan membiarkannya. Jika tidak digarap, dia harus memberikannya kepada orang lain untuk mengerjakannya. Tetapi bila kedua-duanya tidak dia lakukan – tidak digarap, tidak pula diberikan kepada orang lain untuk mengerjakannya – maka hendaknya dipelihara/dijaga sendiri. Namun kami tidak menyukai hal ini.” (H.R Bukhari)

Hadits tersebut memberikan penjelasn tentang pemanfaatan faktor produksi berupa tanah yang merupakan faktor penting dalam produksi . Tanah yang dibiarkan begitu saja tanpa diolah dan dimanfaatkan tidak disukai oleh Nabi Muhammad SAW karena tidak bermanfaat bagi sekelilingnya. Hendaklah tanah itu digarap untuk dapat ditanami tumbuhan dan tanaman yang dapat dipetik hasilnya ketika panen dan untuk pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, penggarapan bisa dilakukan oleh si empunya tanah atau diserahkan kepada orang lain.

Distribusi

Yang dimaksudkan dengan distribusi menurut Thahir abdul muksin sulaiman, ialah pembagian hasil penduduk kepada individu-individu,atau pembagian pemasukan penduduk untuk setiap orang dari faktor-faktor produksi. Mengenai distribusi, Islam kepenilikan umum dan kepemilikan khusus, dan meletakan masing-masingnya kaidah-kaidah untuk mendapatkan dan mempergunakannya.
Dapat kita lihat dalam Q.S Al Baqarah ayat 265; 

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya Karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.” 

Yang artinya dapat dimaknakan bahwasanya orang-orang yang membelanjakan hartanya karena keridhoaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka kepada iman dan ibadah – ibadah yang lain, sebagai bentuk pelatihan kepadanya, sehingga setiap manusia terus tetap bertakwa kepada Allah SWT. Penggunaan terbaik terhadap sumber ekonomi. Misalnya ketika sebahagian harta orang yang kaya diberikan untuk kemashlahatan orang-orang miskin,maka kemanfaatan total bagi pemasukan umat menjadi bertambah.
Adapun hadist mengenai pendistribusian yaitu; 

عن عمرَ قال: سَمِعْتُ النَّبِيَّ يقُوْلُ: مَنْ اِحْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ طَعَامَهُمْ,ضَرَبَهُ اللُه بِالْجُذَامِ وَالإِ فْلاَ سِ.(رواهُ ابنُ مَاجَهٍ)

Dari Umar,ia berkata,’’aku mendengar Nabi SAW bersabda,barang siapa yang menahan makanan(keperluan) kaum muslimin,maka Allah akan menimpakan padanya kerugian dan kebangkrutan.’’(HR.Ibnu Majah)

Hadist diatas menjelaskan tentang bagaimana Allah sangat membenci orang yang menahan kaum muslimin yang menjadi haknya. Ini berarti dalam sebuah pendistribusian tidak boleh ada penimbunan apapun.

Konsumsi

Konsumsi sebenarnya tidak identik dengan makan dan minum dalam istilah teknik sehari-hari, akan tetapi juga meliputi pemanfaatan dan pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Sebagaimana yang tertulis dalam Q.S Al Araf yang artinya;

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S Al-Araf; 31)

Ayat diatas menerangkan bahwa sesuatu yang kita konsumsi (dimanfaatkan) tidak boleh dengan berlebihan, karena sesungguhnya segala yang berlebihan itu tidak baik. Kehalalan adalah salah satu kendala untuk memperoleh maksimalisasi kegunaan konsumsi dalam kerangka ekonomi Islam. Kehalalan suatu barang konsumsi merupakan antisipasi dari adanya keburukan yang ditimbulkan oleh barang tersebut. Ajaran Al-qur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan untuk tidak boros dan tidak kikir.