1. Pengertian Baitul Mal wat Tamwil
(BMT)
BMT adalah lembaga keuangan mikro
yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah), menumbuhkembangkan
bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta
membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua
fungsi : Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) –
melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam
meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan
mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya.
Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) – menerima titipan dana zakat, infak
dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan
amanahnya.
Visi BMT mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota (ibadah dalam arti yang luas), sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah SWT, memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.. Titik tekan perumusan Visi BMT adalah mewujudkan lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran, serta berkeadilan berlandaskan syari’ah dan diridhoi Allah SWT. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa misi BMT bukan semata-mata mencari keuntungan dan penumpukan laba modal pada golongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Visi BMT mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota (ibadah dalam arti yang luas), sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah SWT, memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.. Titik tekan perumusan Visi BMT adalah mewujudkan lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran, serta berkeadilan berlandaskan syari’ah dan diridhoi Allah SWT. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa misi BMT bukan semata-mata mencari keuntungan dan penumpukan laba modal pada golongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
2. Sejarah Perkembangan Baitul Mal
wat Tamwil (BMT)
2.1.
Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul
Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap
harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu
Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu
harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh
hampir selalu habis dibagi‑bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan
untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah
dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa
menunda‑nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai
peruntukannya masing-masing.
2.2. Masa Khalifah Abu Bakar Ash
Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah
yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua
setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau
mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya.
Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh
muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa
barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke
pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab.
Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.”
Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang
jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana
aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada
Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.”
Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan
(ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang
secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.
2.3.
Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Selama memerintah, Umar bin
Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan
sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada
yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu
Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang
Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta
milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian
musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di
antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti
kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
2.4.
Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada
masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya,
tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul
Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123
H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang
menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam
jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia
memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi
Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir
serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman)
menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan
oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal
sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal,
sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak
kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
2.5.
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali,
yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu
Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya,
dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
2.6.
Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di bawah
kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi
menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh
kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa
pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan
Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
3. Sejarah BMT di Indonesia
Sejarah BMT ada di Indonesia,
dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba
menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian
BMT lebih di berdayakan oleh ICMI sebagai sebuah gerakan yang secara
operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK).
BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil
(syari’ah), menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka
mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin.
Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at
Tamwil = Pengembangan Harta) – melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha
produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan
kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan
kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) – menerima
titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya
sesuai dengan pertaturan dan amanahnya.
4. Prospek Baitul Mal wat Tamwil
(BMT)
Koperasi syariah atau akrab dikenal
dengan sebutan Baitulmal wattamwil (BMT) mengalami perkembangan cukup
signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, sebuah lembaga inkubasi
bisnis BMT mengestimasi saat ini terdapat sebanyak 3.200 BMT dengan nilai aset
mencapai Rp 3,2 triliun. Bisnis tersebut hingga akhir tahun ini diproyeksi
mencapai Rp 3,8 triliun. Meski demikian, Chief Secretary Organization (CSO) BMT
Center, Noor Azis, yakin bahwa BMT di Indonesia masih bisa terus dikembangkan.
Syaratnya, adanya dukungan dan komitmen pemerintah dalam mendorong perkembangan
bisnis lembaga keuangan non bunga tersebut. Salah satu bentuk dukungan itu
adalah melahirkan berbagai regulasi yang melindungi binsis keuangan mikro.
Searah dengan perubahan zaman,
perubahan tata ekonomi dan perdagangan, konsep baitul mal yang sederhana itu
pun berubah, tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta tetapi juga
mengelolanya secara lebih produktif untuk memberdayakan perekonomian
masyarakat. Penerimaannya juga tidak terbatas pada zakat, infak dan shodaqoh,
juga tidak mungkin lagi dari berbagai bentuk harta yang diperoleh dari
peperangan. Lagi pula peran pemberdayaan perekonomian tidak hanya dikerjakan oleh
negara.
Selain itu, dengan kehadiran BMT di
harapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan dana untuk usaha bisnis kecil
dengan mudah dan bersih, karena didasarkan pada kemudahan dan bebas riba/bunga,
memperbaiki/meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah, Lembaga keuangan
alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan bebas
riba/bunga,Lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat,mengentaskan
kemiskinan,meningkatkan produktivitas.
5. Kesimpulan dan Saran
BMT merupakan badan atau lembaga
yang dapat meningkatkan kinerja perekonomian dan sekaligus dapat mengentaskan
kemiskinan sehingga tercapai kesejahteraan ummat. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan peran BMT dalam perekonomian tersebut diperlukan peranan pemerintah
yang intensif terhadap eksistensi BMT itu sendiri. Di samping itu, harus ada
dukungan dari masyarakat khususnya ummat Islam untuk lebih mengembangkannya
baik dari segi permodalan
A.
BMT Sebagai Produser
Sebagian penulis tentang teori
ekonomi Islam berpendapat bahwa ekonomi Islam hanya memfokuskan perhatian
kepada distribusi harta, dan tidak mementingkan masalah produksi. Dengan kata
lain, ekonomi Islam hanya memperhatikan distribusi harta secara adil dan
merata, namun sama sekali tidak berhubungan dengan produksi. Perkataan ini
tidak sepenuhnya benar. Jika yang dimaksud dengan “produksi” adalah sarana,
prasarana, dan cara kerja secara umum, maka ungkapan di atas dapat diterima.
Namun, jika yang dimaksud dengan produksi adalah tujuan, etika, dan peraturan
yang berhubungan dengan produksi, maka ungkapan di atas sulit diterima.
Di dalam ilmu ekonomi, proses
produksi terbagi kepada – setidaknya – dua bentuk, Pertama Pengadaan
Stok Barang. Dalam proses produksi barang, barang dapat diciptakan
dengan menggunakan tenaga manusia atau mesin. Pada saat sekarang ini biasanya
dilakukan oleh Perusahaan – Perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi
barang. Kedua Penyediaan Stok Jasa. Jasa adalah sesuatu yang ditawarkan
kepada pasar, dengan tujuan mempermudah kegiatan manusia dari segi non fisik
(tidak berupa benda). Hal ini biasa dilakukan oleh para Biro jasa seperti Biro
Perjalanan, Advokasi dan lain sebagainya.
Dalam proses pertama, BMT tidak
mungkin menciptakan stok barang, karena BMT hanya lembaga keuangan mikro yang
berasaskan syariah dan bergerak dibidang finansial. Tetapi tidak tertutup
kemungkinan kalau BMT dapat melakukan proses produksi dengan cara yang kedua,
yakni menyediakan jasa. Hal ini bisa saja terjadi karena fungsi BMT adalah
sebagai basis penyediaan jasa keuangan dengan prosedur yang sesuai dengan
prinsip syariah yang berlandaskan kepada al-Quran dan sunnah. Artinya, fungsi
Baitul Maal dari BMT (penjaringan dana Zakat, Infak dan Sedekah) adalah sebuah
jasa yang disediakan BMT untuk memudahkan orang – orang kaya untuk menunaikan
kewajibannya kepada Allah, yang kemudian oleh BMT akan disalurkan kepada kaum
dhuafa yang membutuhkan.
Sedangkan fungsinya sebagai Baitul
Taamwil, BMT memberikan bantuan pendanaan untuk aktivitas perekonomian umat
dalam skala kecil. Untuk fungsi BMT yang satu ini, ada beberapa produk yang
ditawarkan oleh BMT kepada nasabah, diantaranya adalah:
Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam
suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan
bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya
masing-masing.
Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak di mana pihak pertama
(shahib al amal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab
atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang
telah disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al
amal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill
selama proyek berlangsung.
Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali
bayar.
Muzaraah, adalah dengan memberikan bibit tertentu (sesuai dengan
kebutuhan penggarap) kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan
imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
Wusaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si
penggarapnya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai
imbalan si penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
Bai’u Bithaman Ajil, hampir sama dengan Murabahah, hanya saja pembayarannya di
lakukan dengan mencicil.
Ijarah Muntahia Bit Tamlik, adalah pembiayaan dengan akad sewa, di mana pada akhir masa
perjanjian, BMT memberikan izin kepada penyewa untuk memiliki barang modal
tersebut.
Dengan menawarkan produk –
produk yang berbasis syariah kepada masyarakat, secara tidak langsung BMT
mencoba memberikan penawaran kepada masyarakat (calon nasabah/ anggota) untuk
bisa memanfaatkan jasa keuangan yang berbasis syariah yang ditawarkan, dengan
metode profit and lose sharing dalam pengelolaan rugi dan labanya.
Di dalam proses ini, maka BMT adalah
termasuk salah produser dalam penyediaan jasa keuangan yang berbasis syariah
dengan skala mikro. Tujuannya adalah untuk mengimplementasikan sistem keuangan
syariah yang sesuai dengan tata cara dan aturan permainan pengelolaan keuangan
di dalam Islam.
B.
BMT Sebagai Konsumen
Mayoritas ahli ekonomi memfokuskan
perhatiannya pada produksi. Mereka berusaha sekuat tenaga meningkatkan produksi
serta memperbaiki kualitas serta kuantitasnya. Namun, bertambahnya hasil
produksi tidak cukup untuk menciptakan manusia yang hidup aman dan sejahtera.
Sebab, sangat mungkin produk ini baik sebagian atau bahkan seluruhnya digunakan
untuk urusan yang tidak bermanfaat bagi manusia, merusak jiwa dan akal, serta
tidak membahagiakan keluarga dan masyarakat.
Memproduksi barang-barang yang baik
dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Namun, pemilikan harta itu
bukanlah tujuan tetapi sarana untuk menikmati karunia Allah dan jalan untuk
mewujudkan kemaslahatan umum, yang memang tidak sempurna kecuali dengan harta
yang dijadikan Allah bagi manusia sebagai dasar pijakan. Memiliki harta untuk
disimpan, diperbanyak, lalu dihitung-hitung adalah tindakan yang dilarang. Ia
merupakan penyimpangan petunjuk Tuhan, sunnah mukmin, dan memungkiri keberadaan
istikhlâf.
Belanja dan konsumsi adalah tindakan
yang mendorong masyarakat berproduksi hingga terpenuhi segala kebutuhan
hidupnya. Jika tidak ada manusia yang tersedia menjadi konsumen, dan jika daya
beli masyarakat berkurang karena sifat kikir yang melampaui batas, maka cepat
atau lambat, roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan
bangsa pun terlambat.
Ahli Ekonomi juga membatasi konsumsi
hanya kepada golongan perusahaan (untuk kebutuhan barang/bahan baku),
masyarakat/ owner (untuk kebutuhan pribadi) dan pemerintah (dalam belanja
pemerintah). Sedangkan lembaga keuangan seperti Bank, Asuransi dan lain
sebagainya hanya difokuskan kepada lembaga keuangan yang menyediakan dana segar
untuk kebutuhan produksi dan investasi.
Di dalam Islam, lembaga keuangan
mempunyai tiga macam akad pembiayaan, Pertama Syirkah
(Penyertaan/investasi dengan bagi hasil). Akad ini adalah bersifat umum. Tidak
hanya di lembaga keuangan syariah saja, tetapi lembaga keuangan konvensional
juga menggunakan sistem investasi (yang dalam istilah syariah Islam di sebut
dengan syirkah/musyarakah). Yang membedakannya hanyalah instrumen dalam
pengelolaan keuntungan. Kalau pada lembaga keuangan syariah instrumen yang
digunakan adalah profit and lose sharing – dimana laba dan rugi
sama-sama di tanggung – sedangkan pada lembaga keuangan konvensional
menggunakan instrumen Interest (bunga) di mana pada tingkatan –
tingkatan pinjaman dikenakan bunga yang harus dibayarkan oleh pihak debitur.
Akad kedua yang digunakan
oleh lembaga keuangan syariah adalah Tijarah. Secara bahasa Tijarah
memiliki pengertian jual beli. Dalam akad ini menghimpun beberapa produk
lembaga keuangan syariah, di antaranya, Bai’u Bithaman Ajil, Murabahah, dan
Mudharabah. Sebagaimana halnya jual beli, ada si penjual dan si pembeli.
Posisi BMT dalam hal ini kita dudukkan sebagai pembeli, karena dalam posisi
ini, BMT memiliki peran yang sangat signifikan dalam memenuhi pelayanan jasa
akan penyediaan produk dan barang yang menggunakan akad tijarah.
Dalam proses pemenuhan akad tijarah,
BMT akan melayani kebutuhan masyarakat akan suatu barang, baik untuk
kebutuhan pokok maupun untuk kebutuhan modal investasi, sehingga barang yang
butuhkan sangat beragam. Mulai dari barang – barang yang membutuhkan dana yang
tidak terlalu besar seperti beras, gandum dll, sampai kepada barang – barang
yang membutuhkan dana yang besar atau mungkin sangat besar untuk mengadakannya,
seperti pengadaan tanah untuk lahan garapan, mobil dan tidak tertutup
kemungkinan gedung bertingkat sekalipun. Semuanya tergantung kepada permintaan
dari anggota/nasabah dan daya beli dari BMT sendiri.
Dalam kasus ini, maka BMT akan
mencari dan menjalin hubungan dengan pihak lain yang disebut dengan mitra
untuk dapat bekerjasama dalam pengadaan barang-barang tersebut. Kerjasama yang
dijalin tentunya sesuai dengan syariat Islam, yaitu dengan akad jual beli pula.
Dalam kerjasama dengan mitra
tersebut, posisi BMT adalah sebagai konsumen. Artinya BMT memakai/membeli
barang – barang yang tidak mungkin diciptakan sendiri kepada mitra mereka untuk
kemudian di jual kembali kepada nasabah dengan akad tijarah.
Akad yang ketiga adalah Ijarah.
Ijarah memiliki makna sewa menyewa. Untuk akad ini, terhimpun setidaknya dua
produk lembaga keuangan syariah, Ijarah dan Ijarah Munthahia Bit
Tamlik. Untuk memenuhi kebutuhan akan produk ini, kembali kita posisikan
BMT sebagai konsumen dari mitranya. Alasannya adalah kalau BMT memiliki stock
barang yang akan disewakan, maka ia tidak akan menggunakan mitranya. Tetapi
kalau BMT tidak memiliki barang yang diminta, ia akan kembali membeli barang
kepada mitranya untuk kemudian disewakan kepada nasabah/ anggota. Alasan ini
berlaku juga untuk pemenuhan kebutuhan BMT dalam akad Tijarah diatas.
C.
BMT Sebagai Distributor
Di antara bidang yang terpenting
dalam perekonomian adalah bidang distribusi, sehingga sebagian penulis ekonomi
Islam memusatkan perhatian-nya kepada bidang ini.
Dalam sistem ekonomi kapitalis,
perdagangan terpusat pada distribusi pasca produksi, yaitu setelah mereka
menghasilkan barang untuk suatu proyek. Pandangan mereka terfokus kepada uang
atau harga.
Menurut paham ekonomi sosialis,
produksi tunduk pada peraturan pusat. Seluruh sumber produksi adalah milik
negara. Dasar distribusi barang ditetapkan oleh keputusan sidang di negara
sosialis. Negaralah yang menyusun strategi produksi rakyat, juga menentukan
garis-garis besar distribusi. Upah, gaji, bunga, laba, dan para manajer diatur
oleh pemerintah.
Kedua paham ekonomi terbesar dunia
di atas hanya memfokuskan distribusi barang pasca produksi. Islam tentunya
sangat berbeda dari kedua paham tersebut. Di dalam teori distribusi Islami,
kajian tentang distribusi tidak hanya pada barang pasca produksi. Harta
kekayaan yang dimiliki juga tidak terlepas dari teori distribusi Islami,
seperti adanya hak orang-orang tidak mampu di dalam harta yang dimiliki, yang
menyebabkan adanya distribusi harta untuk Zakat, Infak dan, Sedekah dan juga
adanya hak ahli waris dalam menerima harta warisan dengan persentase yang telah
ditentukan di dalam al-Quran dan Sunnah.
Memfungsikan BMT sebagai distributor
adalah mengembalikan fungsi sosial BMT di tengah-tengah masyarakat. Untuk
mengembalikan fungsi tersebut, perlu di telaah beberapa hal, di antaranya:
1. BMT sebagai bentuk lembaga
penjaringan dana Zakat, Infak, Sedekah (Baitul Maal)
Adalah tugas dari BMT untuk
menjaring dana – dana tersebut kemudian di distribusikan kepada orang-orang
yang berhak menerimanya sesuai dengan yang telah di atur dalam al-Quran yang
diistilahkan dengan Ashnaf Delapan. Dalam posisi ini, BMT berfungsi
sebagai pool dana dan distributor dana. Untuk lebih jelasnya,
dapat d lihat pada gambar berikut:
2. BMT sebagai bentuk tolong
menolong yang dilembagakan (Baitul Taamwil)
Tolong menolong adalah suatu konsep
dasar dalam setiap lembaga keuangan syariah, apakah ia berbentuk Asuransi, Bank
maupun BMT sekalipun.
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa
manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa adanya suatu yang
lain yang membantunya dalam mendapatkan apa-apa yang dibutuhkannya untuk hidup.
Suatu yang dimaksud di atas tidak lain dan tidak bukan adalah orang
lain.
Begitu juga hal BMT, suatu saat ia
dapat menjadi penolong, suatu saat ia juga bisa berada pada posisi yang harus
di tolong.
Sebagaimana yang telah kita kaji di
atas, bahwa akad yang di gunakan oleh BMT dalam operasionalnya ada tiga, Syrikah,
Tijarah, dan Ijarah. Untuk akad ke dua dan ketiga, BMT akan
membutuhkan mitra untuk mendapatkan barang – barang yang dibutuhkan dan diminta
oleh anggota/nasabah. Ketika ia mendapatkan barang yang dibutuhkan dari
mitranya (sebagai wujud BMT sebagai yang harus di tolong), maka ketika itu ia
berposisi sebagai konsumen. Ketika ia menyalurkan/menjual barang – barang yang
diperoleh kepada anggota/nasabah (sebagai wujud BMT sebagai penolong dan
nasabah sebagai yang harus ditolong), ketika itulah posisi BMT menjadi
distributor.
Di dalam menyingkapi hal ini, lebih
baiknya kita lihat gambar di bawah ini:
Dari gambar di atas, nampaklah
konsep tolong menolong dan fungsi sosial dari sebuah BMT. Tidak hanya dalam
menyediakan barang-barang yang di butuhkan dan di pesan oleh nasabah/anggota
tetapi secara tidak langsung, BMT telah memberikan jasa untuk menolong
nasabah/anggota untuk mendapatkan barang – yang dibutuhkan dengan cara
mempertemukan kepentingan para Mitra dengan kepentingan Anggota/ nasabah.
BMT Sebagai Sirkulator
Sirkulasi adalah pendayagunaan
barang dan jasa lewat kegiatan jual beli dan simpan pinjam melalui agen,
koperasi, lembaga keuangan baik sebagai sarana perdagangan atau tukar-menukar
barang. Sedangkan sirkulator adalah orang/ lembaga yang mendayagunakan barang
dan jasa tersebut.
BMT sebagai sirkulator adalah
memfungsikan BMT sebagai aktor dari sirkulasi dan anggota/nasabah sebagai
subjek serta barang dan jasa sebagai objek dari sirkulasi yang dilakukan.
Prinsipnya dan operasionalnya sangat sederhana. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan BMT menggunakan akad Tijarah dalam produk-produknya.
BMT dan Sektor Rill
Di dalam operasionalnya, BMT sangat
bersentuhan langsung dengan perekonomian masyarakat. Kegiatan yang dilakukan
seperti yang telah dijelaskan di atas, adalah gambaran dari kedekatan BMT
dengan sektor rill yang meminimalkan kegiatan spekulasi dan memaksimalkan kemampuan
masyarakat dalam bidang produksi dengan pembiayaan – pembiayaan yang dilakukan,
sesuai dengan produk – produk yang berlaku pada tiap – tiap BMT yang ada.
Menjadikan BMT sebagai penggerak
sektor rill adalah menjadikan BMT sebagai Pusat Unit Kegiatan Masyarakat,
dengan mengaktifkan dan memfungsikan 4 dimensi BMT, yaitu Dimensi Produser,
Konsumen, Distributor dan Sirkulator. Di mana BMT menjadi tumpuan harapan
masyarakat berkenaan dengan masalah Investasi, Distribusi, dan Sirkulasi.
Hal ini sedikit berbeda dengan
konsep Koperasi Unit Desa (KUD). Perbedaannya hanya terdapat pada, jika KUD
tidak melayani masalah investasi (pembiayaan produksi), maka BMT melayani
kebutuhan masyarakat dari segi Investasi.
Namun hal ini tidak akan terjadi
apabila pemerintah setempat tidak menaruh perhatian pada perkembangan BMT dan
perbankan syariah serta perkembangan ekonomi Islam. Jika pemerintah tidak
menaruh perhatian pada lembaga ini, maka kita tidak bisa berharap banyak BMT
dapat memperbaiki dan menggerakkan perekonomian dari sektor rill. Intinya,
peran pemerintah juga sangat signifikan dalam menjadikan dan memposisikan BMT
sebagai penggerak sektor rill.
Daftar Referesi
Anonim, Pedoman Cara Pembentukan
BMT. Jakarta: Pinbuk, 1995
Karim, Adiwarman A., Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga, Jakarta: Raja Wali Press, 2006
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah,
penerjemah: Ahmadie Thoha Cet. III, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Lestiadi, Suhadji, Peranan Bank
Muamalat Dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan Alternatif, Jakarta, 1998
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi
Hasil & Profit Margin di Bank Syariah, Jogjakarta, UII Press, 2004
Nasution, Mustafa Edwin dkk, Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2006
Situmorang, Jannes, Kaji Tindak
Peningkatan Peran Koperasi Dan UKM Sebagai Lembaga Keuangan Alternatif, http://www.google.co.id/ 25 Desember 2007
Siregar Mulya E., dan Nasirwan, Tantangan Perbankan Syariah, www.shariahlife.wordpress.com/ 15
Januari 2008
Setiawan, Aziz Budi, Instrumen
Ekonomi Syariah untuk Transformasi Masyarakat, www.google.co.id/ 15 Januari 2008
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika
Ekonomi Islam, Jakarta: GIP, 1997